Sabtu, 12 Juni 2010

Cendawan Entomopatogen Fusarium sp. terhadap Pengendalian Pupa PBK Conopomorpha cramerella Snellen

Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella (Snellen))

Menurut Kalshoven (1981) C. cramerella sebelumnya dikenal dengan nama Acrocercops cramerella Snellen tergolong dalam : Kingdom : Animalia, Filum : Arthopoda, Kelas : Insekta, Ordo : Lepidoptera, Famili : Gracillaridae, Genus : Conopomorpha, Spesies : Cramerella, Nama Ilmiah : Conopomorpha cramerella Snellen.

Perkembangan hama PBK keberbagai daerah di Indonesia sejalan dengan penyebaran klon-klon Djati Runggo (DR) dari Jawa Tengah. Keberadaan hama PBK saat ini, dilaporkan telah terdapat di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Riau dan Pulau Jawa. Keberadaan PBK di Sumatera disebabkan daerah tersebut berdekatan dengan daerah serangan PBK di negara bagian Malaka, Johor, Negeri Sembilan dan Pahang (Malaysia). Mengingat transportasi antara kedua daratan tersebut cukup lancar, peluang PBK masuk ke Sumatera Utara cukup besar. Demikian pula untuk propinsi-propinsi di Kalimantan, peluang daerah tersebut tertular hama PBK dari Serawak dan Sabah yang letaknya berdekatan juga cukup tinggi (Atmawinata, 1993).

Ditinjau dari letak geografisnya, PBK dari serangan di Malaysia berpeluang masuk ke Sumatera Utara dan Kalimantan sedangkan yang dari daerah serangan di Filipina Selatan berpeluang masuk ke Sulawesi Utara. Hal ini memberi pemahaman bahwa sekali PBK masuk ke suatu pertanaman kakao, serangga akan tetap tinggal ditempat tersebut dan populasinya akan tetap berfluktuasi pada tingkat yang menimbulkan kerusakan buah (Wiryadiputra et. Al., 1994).

Timbulnya hama PBK di berbagai daerah di Indonesia diduga berkaitan dengan introduksi bahan tanaman kakao (buah dan bibit) dari daerah sumber hama PBK ke dalam pertanaman yang telah berproduksi dalam rangka perluasan areal tanam (Wardojo, 1981). Hal ini pernah terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah hanya dalam waktu 23 tahun setelah diintroduksi bibit kakao dari Malaysia ke Kasimbar dan sekitarnya pantai timur Donggala, ternyata areal pertanaman kakao di wilayah tersebut terserang hama PBK.

Serangan C. cramerella di Sulawesi Selatan terdeteksi pertama kali pada bulan Oktober 1995 dengan luasan serangan 96 Ha. Sejak ditemukannya C. cramerella di Kabupaten Luwu pada tahun 1995, hama tersebut cepat meluas. Pada tahun 2000 sudah mencapai 103.900 Ha. Dalam setahun berikutnya bertambah kurang dari 30.000 Ha, sehingga pada tahun 2001 mencapai 134. 982 Ha atau telah meluas lebih dari 50 % areal pertanaman kakao di Sulawesi Selatan (Salahuddin, 2003).

Siklus Hidup

Siklus hidup hama PBK C. cramerella melalui beberapa stadium perkembangan yaitu telur, larva, pupa dan imago. Dari telur sampai menjadi imago diperlukan waktu sekitar 26 - 35 hari dan rata-rata 28 hari (Anonim, 2004). Stadium telur 69 hari, larva 1518 hari, pupa 68 hari, dan imago 37 hari (Suparno, 1999). Sedangkan menurut Siregar (2000) stadium telur 7 hari, larva 16 hari, dan pupa 7 hari. Siklus hidup dari telur sampai imago 27-34 hari.

a. Telur. Telur berbentuk oval dan berwarna kuning orange pada saat baru diletakkan (Deppraba, 2002). Telur diletakkan satu persatu pada permukaan kulit buah dan memiliki warna jingga. Bentuknya bulat panjang berukuran 0,30 - 0,45 mm. Periode telur 6-9 hari (Susanto, 2004). Menjelang menetas telur kelihatan bersih keputihan (Wessel, 1993 dalam Mustafa, 2005). Telur sangat sulit dilihat dengan mata telanjang (Lim 1992). Telur diletakkan hanya pada permukaan kulit buah dan tidak pada bagian – bagian lain dari dari tanaman kakao (Wardojo, 1980 dalam Mustafa, 2005).

Masa Inkubasi telur PBK tergantung pada faktor fisik lingkungan terutama suhu dan kelembaban. Menurut Alba et al., (1985) rata–rata masa inkubasi adalah 3-4 hari pada suhu 28ºC dan hasil observasi dilapangan menunjukkan bahwa lama stadium telur berkisar 2 – 7 hari (Lim 1992). Kadang - kadang lebih lama yaitu 6 – 7 hari (Wessel 1993 dalam Mustafa, 2005). Demikian juga persentase telur menetas tergantung pada kondisi lingkungan. Lim (1992) menyatakan bahwa persentase telur menetas dalam kondisi laboratorium hanya 69,64%, sedang dalam kondisi lapangan dapat mencapai 95,12% . Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Alba et al., (1985) yaitu rata-rata telur dalam kondisi laboratorium dapat mencapai 98,14 %. Larva keluar dari telur setelah 6-7 hari dan meninggalkan kulit telur pada permukaan kulit buah (Wessel 1993 dalam Mustafa, 2005).

b. Larva. Larva C. cramerella terdiri dari 5 instar (Alba et al., 1985). Stadium larva C. cramerella Snellen antara 3-4 hari pada instar I dan II, 3-5 hari pada instar III dan IV dan 3-6 hari pada instar V. Stadium larva 14-18 hari.

Setelah 15-18 hari di dalam buah, larva yang mencapai ukuran panjang 10-11 mm dan berwarna hijau pucat membentuk fase prapupa. Tubuh prapupa berwarna kuning pucat hingga kuning kehijauan, berukuran panjang 10,4 mm, dan lebar 2,3 mm (Suparno, 1999). Menurut Wiryadiputra (1993) bahwa pupa berwarna kecoklatan dengan panjang 7-8 mm dan lebar 1 mm. Panjang larva sekitar 1,2 cm dan berwarna ungu muda hingga putih (Bennu, 2006), sedangkan menurut Suparno (1999) larva berwarna kekuningan dengan panjangnya 1 mm keluar dari telur setelah 6-7 hari. Selanjutnya menurut Anshari (2000) larva pada stadium awal (instar I) berwarna putih transparan dan larva instar terakhir (menjelang prapupa) berwarna kuning tua.

Lim (1992) mengemukakan bahwa larva yang menjelang menjadi pupa mulai keluar dari buah pada pukul 18. 00 , puncaknya pada pukul 20.00 – 22. 00 , dan tidak ditemukan larva keluar setelah pukul 08.00 pagi. Setelah keluar dari buah larva segera merayap pada permukaan buah atau menjatuhkan diri dengan bergantung pada benang sutra mencari substrat tempat berpupa. Sebelum menjadi pupa, larva terlebih dahulu menganyam kokon berupa membran kedap air sebagai pelindung (Wardojo, 1980; Lim, 1992, Wessel, 1993, Wiryadiputra, 1993 dalam Mustafa, 2005). Rata–rata waktu yang dibutuhkan untuk menganyam kokon 41 menit (Lim, 1992; Wessel, 1993).

c. Pupa. Menurut Alba et al., (1985) bahwa pupa C. cramerella berwarna kuning kehijaun dan berada dalam kokon yang terbuat dari benag-benang sutera yang keluar dari mulutnya berwarna cokelat muda. Menurut Suparno (1999) bahwa kokon C. cramerella berwarna cokelat dengan ukuran 6-7 mm x 1,0 – 1,5 mm yang berada dalam kokon yang berbentuk bulat telur dengan ukuran 6,9 x 13 x 18 mm (Anonim, 2004). Menurut Bennu (2006) bahwa pupa berwarna abu-abu gelap dengan panjang 8 mm.

Pupa dapat ditemukan pada permukaan kulit buah, pada daun segar, daun kering, batang, cabang, dan gulma. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pupa juga dapat melekat pada karung, keranjang panen, kotak kardus tempat buah segar, bahkan pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen (Wardojo, 1980). Lim et al., (1982) mengemukakan bahwa larva PBK lebih memilih daun-daun kering di atas permukaan tanah (68%), buah (26%), dan batang (5%), serta cabang dan ranting-ranting pohon kakao (1%) sebagai tempat berkepompong.

Stadium pupa berlangsung rata-rata 7 hari (Wardojo, 1980), atau 6,68 hari menurut Lim et al., (1982) mengemukakan bahwa lama stadium pra pupa dan pupa dalam kondisi laboratorium pada suhu 28ºC adalah 9,8 hari. Menurut Lim (1992) proses keluarnya imago dari pupa membutuhkan waktu sekitar satu menit dan hal itu umumnya terjadi antara pukul 19.00 – 21.00

d. Imago. Imago betina hanya meletakkan telur hanya pada permukaan buah kakao terutama pada alur kulit buah. Menurut Roepke (1992 dalam Wardojo, 1980) imago C. Cramerella meletakkan telurnya satu persatu pada permukaan buah kakao. Selanjutnya dikemukakan jumlah telur yang diletakkan seekor betina C. cramerella berkisar 50-100 butir.

Imago C. cramerella memiliki panjang tubuh 7 mm dan lebar 2 mm, memiliki sayap depan berwarna hitam bergaris putih, pada setiap ujungnya terdapat bintik kuning dan sayap belakang berwarna hitam, memiliki antena yang panjang serta runcing (Bennu, 2006). Perkembangan C. cramerella sejak telur sampai stadium dewasa memerlukan waktu 27-33 hari (Wardojo, 1994).

Serangga ini aktif pada malam hari termasuk aktivitas kawin dan bertelur antara jam 18.00 – 20.30. Pada siang hari biasanya berlindung di tempat lembab dan tidak terkena sinar matahari. Daya terbangnya pun tidak terlalu tinggi namun mudah terbawa oleh angin. Serangga dewasa ini sendiri hanya berumur 5-7 hari, jadi setelah bertelur dia akan mati (Bennu, 2006).

Gejala Serangan

Kerusakan yang ditimbulkan oleh larva C. cramerella berupa rusaknya biji, mengeriputnya biji dan timbulnya warna gelap pada kulit biji. Imago C. cramerella meletakkan telurnya pada buah kakao yang berukuran panjang lebih besar dari 5 cm (Anonim, 2003). Telur diletakkan satu persatu pada alur buah kakao. Telur yang menetas menjadi larva tersebut akan bergerak dan mulai membuat lubang ke dalam kulit selanjutnya masuk ke dalam buah kakao. Lubang gerekan berada tepat di bawah tempat meletakkan telur. Selanjutnya akan menggerek daging buah diantara biji dan plasenta (Suparno, 1999).

Pada buah muda yang terserang gejala tampak pada permukaan kulitnya bercak-bercak besar berwarna kuning. Jika buah yang menunjukkan gejala tersebut dibelah, tampak alur sepanjang plasenta ke biji berwarna cokelat akibat serangan larva, sedangkan daging buahnya masih tetap berwarna putih. Pada serangan berat, bagian dalam buah berwarna cokelat kehitaman. Apabila buah muda terserang, masih dapat berkembang menjadi buah dewasa namun pada permukaan kulit luar buah tampak besar berwarna kuning, sedangkan bagian lainnya tetap berwarna hijau atau merah tergantung jenis kakaonya. Jika buah tersebut dibelah akan terlihat jalur-jalur gerekan larva dan daging buah berwarna kecoklatan, pertumbuhan biji terganggu, dan biji melekat satu sama lainnya. Jika buah terserang C. cramerella maka buah menjadi kering dan pulp mengeras (Suparno, 1999).

Pada buah menjelang matang dan pada klon kakao dengan kulit buah berwarna merah, gejala serangan tampak ada bercak-bercak berwarna orange, apabila buah menjelang matang dengan kulit berwarna hijau, akan tampak bercak berwarna kuning hingga orange. Jika buah tersebut dipetik terasa berat dan apabila diguncang tidak terdengar adanya gerekan biji (Siregar et al., 1994). Jika buah tersebut dibelah maka terlihat daging buah berwarna cokelat kehitaman sampai hitam, biji saling melekat dan apabila diproses lebih lanjut biji akan menjadi keriput karena biji tidak berisi sempurna (Anonim, 2004).

Tanaman Inang Lain

PBK adalah “ras biologi” dan telah berhasil beradaptasi pada buah kakao setelah memisah dari populasi asalnya yang hidup pada buah rambutan (Nephelium lappaceum). Hal ini didasari dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1900-1950 oleh Zehnter dan kawan-kawan dan beberapa hasil penelitian yang lain. Hasil-hasil penelitian tersebut memberi informasi bahwa penggerek buah yang serupa dengan PBK yang hidup pada buah rambutan, mangga (Mangifera indica L.), serikaya (Anona squamosa L.), belimbing (Averhoa carambola L.), duku atau langsat (Lansium domesticum L.), nangka (Artocarpus integra Merr.), dan jeruk (Citrus sinensis L.) (Zehnter, 1901). Tanaman lain yang juga sebagai inang hama tersebut antara lain adalah kola (Cola nitida) dan nam-nam (Cynometra cauliflora) (Roepke, 1917), kasai (Pometia pinnata), pulasan (Nephelium mutabile) (Ooi, 1986), serta matakucing (Nephelium malaiense) (Depparaba, 2002).

Pengendalian

Beberapa pengendalian yang bisa dilakukan untuk mencegah serangan hama penggerek buah kakao C. cramerella yaitu :

Penen sering adalah melakukan panen buah kakao yang telah memperlihatkan siap panen (warna kekuningan atau buah kakao tua). Panen awal ini diharapkan akan memperpendek masa perkembangan larva PBK di buah kakao (BPTP, 2004). Untuk menurunkan jumlah PBK, sebaikknya semua buah yang sudah masak atau masak awal di panen seminggu sekali. Cara ini menghindari perpanjangan perkembangan atau daur hidup PBK di kebun (Hindayana et al., 2002).

Sanitasi diperlukan untuk mematikan PBK yang ada di dalam buah yang sudah panen. Jika tidak dimatikan, PBK tersebut dapat berkembangbiak dan menyerang buah yang masih ada di pohon. Sanitasi dilakukan dengan cara membersihkan areal kebun dari daun-daun kering, tanaman tidak sehat, ranting kering, kulit buah maupun gulma yang ada disekitar tanaman. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi yang tidak sesuai dengan lingkungan untuk perkembangbiakan hama PBK (Hase, 2006). Setelah buah dipanen seluruhnya dibelah, kulit buah dimasukkan ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah atau dengan plastik untuk membunuh larva yang masih ada atau hidup pada buah. Jika tidak segera dikerjakan simpanlah buah dalam karung plastik yang diikat rapat. Cara tersebut mencegah PBK keluar dan menyerang buah yang belum masak di pohon (Hindayana et al., 2002).

Pemangkasan adalah pemotongan cabang atau ranting atau ranting tanaman serta tanaman naungan agar tanaman kakao tidak terlalu rimbun. Tanaman kakao yang terlalu rimbun, mengakibatkan kelembaban cukup tinggi sehingga baik untuk perkembangbiakan serangga hama PBK. Pemangkasan diharapkan masuknya sinar matahari diantara tanaman kakao sekitar 60% (BPTP, 2004). Pemangkasan berfungsi untuk mengatur tajuk tanaman, sehingga kanopinya tidak terlalu rindang. Kondisi kanopi yang rindang sangat kondusif bagi pertumbuhan hama PBK. Salah satu kelemahan hama PBK adalah tidak menyukai sinar matahari langsung. Sehingga bila dilakukan pemangkasan yang sering dan teratur akan dapat menekan populasi karena pendistribusian sinar matari pada bagian tanaman maupun areal kebun menjadi merata (Hase, 2006).

Ketersediaan unsur hara berkaitan erat dengan pertumbuhan dan produktifitas yang optimal, maka pengendalian hama bisa dilakukan dengan cara memberikan pupuk yang cukup. Terpenuhinya unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan memperlancar proses metabolisme tanaman. Lancarnya proses tersebut akan mempercepat masaknya buah, sehingga akan mengurangi tingkat kerusakan buah dan memungkinkan frekuensi panen lebih sering. Disamping itu, pertumbuhan tanaman yang optimal akan mempengaruhi daya tahan tanaman terhadap serangan hama PBK meskipun pengaruhnya tidak begitu besar (Hase, 2006). Dampak utama pemupukan terhadap tanaman kakao adalah merangsang pertumbuhan yang baik. Dampak ini meningkatkan ketahanan kakao terhadap serangan PBK. Proses pemupukan yang benar dengan memperhatikan dosis, jenis, cara, waktu, dan tempat (Hindayana et al., 2002).

Sistem rampasan dilakukan dengan cara merampas atau memetik semua buah kakao yang ada dipohon agar siklus hidup PBK terputus. Menurut Susanto (2004), tujuan sistem rampasan adalah menghilangkan sember hama atau menekan populasi serangga untuk sementara waktu, sebab dengan cara ini hama tidak memperoleh makanan. Dengan demikian PBK itu hanya terbang sekitar tanaman tanpa bisa menemukan tempat untuk meletakkan telur. Akhirnya PBK itu akan mati tanpa bisa meninggalkan keturunan. Adapun saat yang tepat untuk melakukan perampasan adalah setelah panen raya (Hase, 2006).

Kondomisasi adalah memberikan selubung perlindungan terhadap buah kakao. Selubungnya dapat menggunakan kantong plastik yang ujung bagian atasnya diikatkan pada tangkai buah, sedangkan ujung buah tetap terbuka. Dengan penyelubungna buah tersebut, hama tidak bisa meletakkan telurnya pada kulit buah sehingga buah akan terhindar dari gerekan larva (Hase, 2006). Kondomisasi merupakan salah satu metode baru yang paling efektif dan efiisien di dalam pengendalian hama PBK serta dapat meningkatkan mutu serta kesuburan buah kakao. Kondomisasi dilakukan dengan memasangkan plastik selubung pada buah kakao secara satu persatu dengan menggunakan plastik transparan pada buah yang berukuran antara 2-3 bulan atau panjang buah telah mencapai 5-8 cm (Salahuddin, 2003).

Pengendalian dengan menggunakan musuh-musuh alami sangat berperanan dalam mengatur populasi PBK di lapangan, seperti penerapan parasitoid, entomopatogen dan predator. Hal ini didasari dari penelitian yang dilakukan oleh Nuraryati (2006) bahwa hasil identifikasi cendawan yang ditemukan menginfeksi pupa PBK yaitu terdapat tiga jenis, masing-masing Beauveria bassiana Vuill., Aspergillus sp. dan Penicillium sp. Hal tersebut didasarkan pada ciri-ciri morfologi cendawan yang telah dimurnikan setelah diisolasi dari pupa PBK yang mati. Pupa PBK yang terinfeksi oleh cendawan Penicillium sp. nampak berwarna kehijauan. Konidiofornya hialin yang berdinding kasar atau halus. Ketiga jenis cendawan entomopatogen mampu meenginfeksi pupa PBK karena adanya toksin yang dihasilkan oleh masing-masing cendawan.

Cendawan Entomopatogen

Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Terdapat enam kelompok mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida adalah Cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa, dan ricketsia (Santoso 1993). Kelompok serangga yang paling sering terserang oleh cendawan entomopatogen adalah kelompok atau ordo Hemiptera, Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera dan Hymenoptera (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Melina 1997).

Beberapa jenis cendawan mempunyai kisaran inang yang luas sedangkan yang lainnya hanya menginfeksi beberapa spesies serangga. Spesifikasi inang berkaitan erat dengan sifat – sifat integumen serangga, kebutuhan nutrisi cendawan dan pertahanan selluler serangga inang (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Melina 1997).

Berbeda halnya dengan bakteri dan virus yang harus termakan oleh serangga agar efektif, cendawan biasanya menginfeksi serangga melalui kutikula. Kematian serangga terjadi karena rusaknya jaringan – jaringan tubuh serangga dan kadangkala oleh adanya toksin yang dihasilkan oleh cendawan. Larva yang terinfeksi cendawan pada umumnya menjadi lemah dan tidak aktif, dua atau tiga hari kemudian mengalami kematian, dan tubuhnya ditumbuhi oleh miselium cendawan (Melina, 1997). Pada umumnya semua cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga menyebabkan serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mummi (Santoso, 1993).

Hasil penelitian Sulistyowati (2002), di Maluku menunjukkan adanya cendawan entomopatogen pada PBK seperti Beauveria bassiana Vuill., Spicaria sp., Fusarium sp., Verticillium sp., Acrostalagmus sp., dan Penicillium sp. Sementara itu di Sulawesi Selatan, Nurariaty (2006) melaporkan bahwa cendawan entomopatogen yang ditemukan pada pupa PBK adalah B. bassiana, Aspergillus sp., Gliocephalis sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp. dan telah dilaporkan bahwa secara alami peranan cendawan-cendawan tersebut masih rendah.

Fusarium sp. sebagai Cendawan Entomopatogen yang Mematikan Pupa PBK

Di Indonesia, pemanfaatan agen hayati khususnya cendawan entomopatogen

untuk pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad ke-19 khususnya untuk mengendalikan hama pada tanaman perkebunan (Sudarmadji et al., 1994; Junianto 2000).

Penggunaan agens hayati cendawan entomopatogen merupakan suatu upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik yang selama ini banyak menyebabkan masalah lingkungan, dan diharapkan dapat menjadi suatu solusi disamping dapat menggali potensi sumber daya hayati lokal yang diperkirakan keberadaannya berlimpah di alam Indonesia. Menurut Boucias dan Pendland (1998) tingkat patogenisitas masing-masing spesies Aspergilus, Beauveria, Fusarium dan Metarhizium yang termasuk ke dalam Kingdom Mychota, Filum Deuteromycota, Kelas Hypomycetes dan Ordo Hypocreales ditentukan oleh interaksi berbagai faktor seperti jenis inang, metode aplikasi dan faktor lingkungan. Adapun kemampuan dasarnya ditentukan oleh spesies cendawan itu sendiri yang dapat menyebabkan kematian inang dengan cepat atau sebaliknya (Desyanti et al., 2007).

Kingdom : Fungi, Subkingdom : Dikarya, Phylum: Deuteromycota, Subphylum : Pezizomycotina, Class : Hyphomycetes, Order : Hypocreales, Family : Nectriaceae, Genus : Fusarium.

Cendawan Fusarium merupakan salah satu jenis cendawan hypomycetes yang telah dilaporkan sebagai salah satu cendawan entomopatogen. Ada beberapa spesiesnya yang diketahui dapat menyerang serangga, Fusarium moniforme tidak hanya menyerang tanaman, tetapi dapat pula menginfeksi serangga. Cendawan Fusarium menghasilkan fusaric acid dan pigmen Naphtazarin yang bersifat insektisidal. Mikotoksin ini diketahui dapat menghambat beberapa reaksi enziumatik. Selain itu ada spesies Fusarium yang dapat menginfeksi serangga-serangga scale insect yaitu Fusarium lateritium (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Melina 1997).

Hifa dari Fusarium bersepta dan menghasilkan dua buah bentuk konidia yang hialin, yaitu mikrokonidium dan makrokonidium. Mikrokonidium yang bersel satu berbentuk bulat telur atau lonjong dan terbentuk secara tunggal atau berangkai sedangkan makrokonidium biasanya bersel banyak dan bersepta. Kedua ujungnya meruncing dan membengkok sehingga menyerupai bulan sabit atau sampan. Bila keadaan tidak menguntungkan, cendawan akan membentuk klamidiospora yang terbentuk secara tunggal atau berpasangan pada posisi terminal (Kranz et al., 1997 dalam Melina, 1997).

1 komentar:

  1. sepertinya anda penggemar coklat mulai tanamannya,buahnya,dan hasil olahannya.nnti sy belikan 1 dus coky-coky

    BalasHapus